Jumat, 29 Oktober 2010

ISLAM LIBERAL dan OTORITARIANISME AGAMA TANTANGAN BAGI PERSATUAN

Sejak dulu islam di indonesia atau di belahan bumi yang lain bukan lah islam yang monolitik. Islam sebenarnya penuh dengan warna-warni dan beragam. Islam di mekah pakai surban dan jubah, sedangkan di indonesia pakai sarung dan peci,tentu lagi lain di negara lain. Ini hanyalah metafor. Tapi dalam kenyataannya banyak sebagian umat islam mencari islam yang sama. Islam yang dikalimnya islam yang murni, islam yang sejati. Padahal sangat lah sulit bahkan cenderung mustahil menemukan islam yang murni. Dilihat dari sejarah lahirnya islam,di arab, islam lahir dengan proses adaptasi dan adopsi. Di indonesia pun demikian, islam sekarang merupakan akulturasi dari budaya-budaya lokal. Pencarian islam yang murni dan otentik hanya akan melahirkan penolakan radikal terhadap tradisi dan kemodernan yang akan melahirkan perpecahan dan penegasian narasi dari komonitasnya yang berbeda : sekular dan islam puritan.
Padahal saat yang sama berbagai macam persoalan yang melanda umat islam seperti gelombang yang datang bergemuruh, bertubi-tubi dan sangat kompleks. Tentunya bukan dengan pemikiran otentik yang dapat menghidupkan islam dalam kancah global, akan tetapi dengan adanya akullturasi-akulturasi atau persilangan budaya.
Itulah sebabnya islam sebagai nama kemudian berkembang dengan sederet adjektif, yang menckup sekian deret kepentingan dan tujuan. Salah satunya liberal. jadilah islam liberal.
Islam liberal hadir ingin menjadi salah salah satu gerakan yang mengambil inisiatif untuk melakukan proses penghidupan spirit islam dengan jalan penyadaran dan pembebasan yang dengan menekankan kebebasan pribadi dan pembebasan dari stuktur sosial politik yang menindas. Islam liberal tidak hanya hadir sebagai pendulum yang membuka intellectual exercie,lebih dari itu,ia bercita-cita memainkan peran transforamatif etik dalam ruang sosial, budaya dan politik.
Islam liberal lahir bukan tanpa sebab. Setelah reformasi banyak bermunculan kelompok-kelompok islam, baik yang berupa partai politik ataupun yang berupa organisasi massa yang menjadikan islam sebagai agenda pokok dan sekaligus daya tarik umat islam. Kecenderungan dari kelompok-kelompok tersebut yaitu memolitisasi agama dan muncul isu kekerasan. Nah islam liberal ini diharapkan menjadi counter terhadap gerakan-gerakan islam fundamentalis, radikal dan eksterm yang muncul setelah reformasi tersebut.
Gerakan-gerakan tersebut perlu dilawan, bukan hanya sekedar pemahaman yang tekstual atau literal, harfiah dan memandang kelompoknya sebagai yang paling benar dan kelompok yang diluar dirinya sebagai kelompok yang salah, lebih dari itu, dalam kelompok ini sering kali islam dijadikan alasan pembenaran untuk tindak kekerasan.
Tanpa harus terjebak dalm istilah kata yang dipakai, jelas bahwa islam liberal mulanya dijadikan counter terhadap suatu gerakan yang disebutnya islam radikal. Sebagai sebuah gerakan yang kontra gerakan, islam liberal pun mempunyai gaya yang tak jauh berbeda dengan gerakan yan diklaimya radikal tersebut: provokatif, menggebu-gebu dan menyalak-nyalak, bedanya islam liberal tidak menggunakan kekerasan fisik dan klaim kebenaran tunggal.
Gagasan-gagasan yang diusung oleh islam liberal sebagaimana yang terbaca dalam manifesto jaringan islam liberal dan berbagai proyek intelektualnya sebenarnya sekadar menyegarkan kembali paham islam: pengemasan ide-ide lama dengan gaya provokatif.
Sebuah produk pemikiran tak bisa lepas dari basis sosiohistorispolitiknya, tidak ada pemikiran yang lahir dari ruang hampa. Berbagai tantangan dan persoalan merupakan dua faktor penting mengapa sebuah pemikiran dan gerakan harus dilahirkan. Pada akhirnya pemikiran merupakan cerminan suatu budaya dan kepentingan.
Otoritarianisme Agama atau bisa disebut dengan kekerasan atas nama agama, banyak kasus yang terjadi di negeri ini. Yang paling mutakhir adalah hujatan terhadap kelompok lia“eden” aminudin dengan dalih penghujatan terhadap agama, tak kalah hebohnya kekerasan yang menimpa jamaah Ahmadiyah yang dilakukan oleh kelompok muslim yan menyandarkan pada fatwa MUI dan baru-baru ini aliansi kerukunan untuk kebebasan beragama dan berkeyakinan mengalami hal yang serupa. Fatwa yang menyatakan dengan tegas, Ahmadiyah sebagi aliran yang sesat dan menyesatkan. Fatwa MUI juga mengahramkan atas paham pluralisme, liberalisme dan sekularisme.
Ketiga kasus tersebut diatas merupakan sebagian contoh kasus pelanggaran kasus atas hak asasi manusia untuk bebas beragama dan berkepercayaan. Hak beragama meliputi kebebasan dan menganut agama tertentu. Sedangkan hak berkepercayaan meliputi pandangan hidup (life stance) individu/ kelompok untuk tidak beragama(nonreligius conterparts )dan pandangan individu/ kelompok sekuler (secular counterparts).
Otoritarianime Agama oleh MUI memiliki dampak buruk dalam pemenuhan hak kebebasan beragama dan berkepercayaan. Terhadap Ahmadiyah yang masih beratapkan islam saja MUI melakukan diskriminasi dan pelecehan. Apalagi terhadap agama lain. Dikhawatirkan suatu hari nanti, MUI juga akan mengeluarkan fatwa untuk”mengenyahkan” hak beragama bagi non-Muslim. Sedangkan pengharaman terhadap liberalisme, pluralisme dan sekularisme merupakan bentuk penafi’an terhadap kebebasan individu/kelompok untuk memilih dan menganut untuk tidak beragama atau memilih pandangan hidup untuk hidup sekuler,liberal dan plural.
Islam liberal yang mengusung gerakan intelektualis dengan memproduksi berbagai wacana walaupun masih terlihat fragmatis dan patah-patah akan tetapai merupakan caunter terhadap gerakan-gerakan yang fundamen yang mengusung kebenaran tunggal. Sedangkan otoritarianisme merupakan tindakan yang timbul karena menganut kebenaran tunggal ironisnya tindakan ini dilakukan oleh MUI setelah menegeluarkan fatwanya yan mengangagp bahwa aliran tersebut sesat, karena tidak sesuai ajaran yang ditetapkan MUI..
Kebebasan beragama dan kebebasan berpikir adalah dua hak fundamental yang dimiliki manusia secara inheren dan dua hak itu mempunyai hubungan yang erat,apalagi di indonesia telah diatur dalam pasal 29 UUD 1945 yang merupakn konsensus bersama, sedangkan fatwa yang dikeluarkan oleh MUI merupakan konsensus para ulama yang tidak mewakili rakyat negeri ini. Menilai apakah seseorang itu beriman atau tidak bukan lah wewenang manusia tetatpi merupakan hak prerogatif ALLAH SWT.
Kedua hal tersebut merupakan tantangan sendiri bagi negeri ini, karena gerakan kontra itu lahir disebuah negeri yang plural yang hadir dengan beragam corak budaya dan kepercayaan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar